BUKAN SALAHMU, TAPI EKSPETASIKU
Oleh: Tutik Awiyah
Aku kira kita telah berada di usia "berkomitmen atau tidak sama sekali". Artinya, bukan lagi masanya untuk kita datang, bilang cinta, lalu pergi. Aku kira kamulah tempat aku berhenti berharap akan cinta dan kasih sayang. Aku kira kamulah tempat persinggahan terakhir setelah banyak perjalanan cinta yang aku lewati. Tapi nyatanya..
Singkat cerita awal perkenalan kita. Ahh saat itu, sekitar 8
bulan yang lalu. Singkat memang. Tapi berkesan menurutku. Saat aku sedang sibuk
sibuknya menyusun skripsiku. Saat aku bolak balik toko alat tulis untuk membeli
kertas hvs dan tinta printer. Ceroboh adalah sifatku memang. Saat akan membayar
keperluanku, aku lupa membawa dompet dan tidak ada sepeserpun uang disakuku.
Dengan gagahnya lelaki berjaket bomber army bak pahlawan
disiang bolong, bilang "gak bawa dompet yaa mbak? Biar saya bayarin
semuanya".
Sempat terdiam karena bingung. Kita tidak mengenal satu sama
lain tapi kamu bisa sebaik itu pada orang asing. Langsung saja aku tolak tentu
saja karena aku tak mengenalmu. Tapi lelaki itu langsung menyodorkan uang ke
kasir dan bergegas keluar dari toko. Aku pun berjalan dengan cepat untuk
mengejarnya karena belum sempat berterima kasih.
"Mas tunggu, kenapa dibayarin? Kan tadi saya udah
bilang gak usah. Hmm tapi gini aja deh, berhubung udah terlanjur juga kan.
Berarti saya punya utang ke mas. Saya minta nomer rekeningnya, nanti saya
transfer. " kataku.
"Gak usah mbak. Saya ikhlas. Lagian saya lupa nomer
rekening saya." katanya sambil tersenyum.
"tapi gak bisa gitu mas. Pokoknya saya harus ganti uang
mas tadi." kataku kekeh.
Akhirnya kamu malah memberikan nomer telepon karena sedang
terburu-buru. Senyum senyum sendiri jika teringat kejadian itu.
Dari kejadian singkat itu, hubungan kita pun menjadi akrab
karena ternyata rumah kita cukup berdekatan. Hanya berbeda beberapa blok dari
komplek rumahku. Setiap pagi aku berangkat kuliah pasti melewati rumahnya. Tak
jarang kita berpapasan karena dia juga berangkat kerja di pagi hari.
Umur kita hanya terpaut 3 tahun.
Mungkin karena itulah kita
menjadi lebih mudah akrab. Selera kita tak beda jauh. Seperti halnya sama sama
suka makanan pedas, tidak suka keramaian dan yang paling ku suka darinya adalah
dia juga pecinta K-Pop dan K-drama! Tapi dia bukan fanboy yang menye menye
seperti halnya anak smp. Kita sering kali nonton drama bersama disela sela
kesibukanku dengan skripsiku dan kesibukannya dengan pekerjaannya di bank.
Sungguh manis.
Suatu hari saat aku benar-benar suntuk dengan skripsiku, ku
kirim pesan singkat via Whatsapp kepadanya.
"Aku bosan nih. Kepala sakit banget. Skripsi gak
selesai-selesai. Huhuu", pesan dariku.
"Semangat ya kamu", balasnya singkat.
"udah gitu doang? ", balasku cepat.
Hampir 15menit pesanku tidak dibukanya. Sebal rasanya. Tapi
tiba-tiba ia menelponku.
"aku udah di depan rumah kamu. Yuk kita jalan-jalan.", katanya via
telpon.
"hayuuuuuukkk!", jawabku semangat sambil berlari
ke depan rumah untuk menemuinya.
Sungguh ia moodbooster -ku. Ia paling tau caranya membuat
orang senang. Ice cream, coklat, sampai mie ayam pinggir jalan kita santap. Tak
terasa sampai senja kita menghabiskan waktu.
Seperti hari-hari biasanya kita chat via Whatsapp. Namun
hari itu adalah hari yang tidak akan aku lupakan. Saat tiba-tiba kamu mengirim
pesan, "aku cinta kamu". Sungguh, darah dari jantung tiba-tiba
terpompa dengan cepat mengalir ke seluruh tubuh. Belum sempat aku membalasnya,
ia sudah mengirimkan pesan lagi.
"tapi aku ragu. Jadi aku butuh waktu untuk bisa
meyakinkan rasaku ini ke kamu. Kamu gak perlu jawab rasa ke aku sekarang. Aku
takut nantinya hubungan kita berubah. Aku gak mau hal itu terjadi."
balasnya panjang.
Aku bingung. Aku benar-benar tak mengerti. Ingin sekali aku
membalas, "aku juga cinta kamu" tapi bahkan itu bukan pertanyaan dan
seolah-olah ia membungkam agar aku tidak membalasnya. Aku tak tau harus senang
karena pengakuannya atau malah sedih karena pernyataannya.
Hingga saat hubungan kita mulai renggang. Tidak ada chat darimu.
Aku hanya mencoba mengerti, mungkin kamu sibuk dengan pekerjaanmu. Aku pun
sibuk dengan kuliahku yang hampir mendekati wisuda. Hanya sesekali kita
berpapasan dan bertukar pesan.
Hingga saatnya benar-benar tidak ada satupun pesan darimu.
Aku hanya bisa melihat story sosial mediamu, karena aku tak cukup nyali untuk
mengirim pesan seperti dulu. Sering ku lihat betapa bahagianya kamu dengan
teman-temanmu, kamu dengan teman perempuanmu. Dan aku mulai menyadari. Aku
mulai bisa menyimpulkan sendiri, posisiku saat ini sudah tidak diperlukan lagi.
Mungkin aku sudah tidak dibutuhkan atau bahkan sudah dilupakan.
Berhenti berharap, sedang dan terus aku lakukan hingga
sekarang. Kamu mengambil hatiku dengan mudahnya, menerbangkannya, dan membuat
seakan indah. Tapi dengan sangat mudah pula kamu menjatuhkannya. Sempat
berfikir aku terlalu percaya diri bahwa kamu mencintai, tapi ternyata benar.
Aku, sama dengan perempuan lain. Sama dengan mereka. Sama dengan teman dekatmu.
Banyak yang bilang rindu itu berat. Tapi bagiku, yang berat
itu kehilanganmu. Bahkan kehilangan sebelum sempat memilikimu. Aku sering
bertanya dalam hati, "Pantaskah aku disakiti sedalam ini?" namun
nyatanya; aku menyadari. Segala sakit yang ada terjadi karena izinku sendiri.
Bodohnya, tiap malam yang aku lakukan adalah melihat history
chat kita di Whatsapp. Bibirku tersenyum, namun hal sepele itu rasanya menusuk
sampai ke ulu hati. "lagi apa?" pertanyaan basa basi tapi aku rindu
itu. "aku kangen kamu" kalimat singkat namun bisa membuatku
bersemangat. "aku cinta kamu" rasanya seperti minum kopi hitam tanpa
gula di malam hari, berdebar dari jantung yang membuatku tidak bisa tidur.
Sampai sampai aku kaku untuk membalas "aku juga cinta kamu". Dan
naasnya belum sempat terbalas hingga sekarang.
Sekarang, tidak ada yang bisa aku lakukan selain menerima
kenyataan. Meskipun kamu sangat indah, mempesona, dan suaramu begitu sulit
untuk aku lepas dari ingatan. Tapi, segalanya harus aku ikhlaskan.
Karena lukaku harus hilang. Dan untuk sembuh, aku harus
berjuang. Sungguh tidak mudah untuk terbiasa hidup tanpamu karena kamu sudah
jadi bagian dari rutinitasku.
Namun, bukan berarti aku tidak sanggup. Proses melupakanmu
ini akan berakhir indah. Meskipun sesekali aku merindukanmu, yang jelas di
ujung jalan aku tahu. Akan ada saatnya, rasaku padamu benar-benar tidak ada.
Komentar
Posting Komentar