MUSIM SABAR
Pacitan, 10 Nopember 2018
Udara sejuk yang menenangkan hati
pagi ini membuat nyaman setiap orang yang menghirupnya. Suasana pagi di desa
yang hijau itu tak sesibuk dan seramai di kota. Celoteh burung yang
membangunkan manusia setiap pagi selalu terdengar riang. Tak ketinggalan ayam
jantan pun saling bersahutan untuk membangunkan penghuni rumah yang masih asyik
dengan dunia mimpinya.
Pagi itu, seorang gadis bermata
bening sedang menenggelamkan wajahnya di atas sajadah untuk beribadah pada Sang
Illahi. Berdoa kepada-Nya untuk segala kebaikan dan mencurahkan semua keluh
kesahnya. Biyah, gadis mungil bermata bening itu kini sedang membaca ayat-ayat
suci milik-Nya setelah selesai dengan sholatnya. Suaranya mengalun lembut
menciptakan melodi indah di setiap telinga orang yang mendengarnya.
Terbangun setiap pagi adalah
rutinitas yang harus dijalaninya. Setelah selesai dengan urusan akhiratnya, ia
segera bersiap-siap untuk urusan dunianya. Apalagi kalau bukan untuk membantu
orang tuanya. Biyah adalah sosok gadis yang terlatih untuk mandiri sejak kecil.
Ia dibesarkan dalam keluarga sederhana di sebuah desa yang hijau nan indah.
Biyah adalah sosok gadis yang unik, ia berbeda dengan anak-anak lain. Biasanya
teman-temannya sangat senang apabila pergi jalan-jalan atau liburan, tapi lain
dengan Biyah. Ia lebih suka di rumah menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang
berguna seperti membantu orang tuanya. Biyah bukan tidak mau untuk keluar
mencari udara segar. Sebenarnya ia ingin untuk pergi layaknya teman-teman yang
lain. Namun ia tak tega melihat kedua orang tuanya harus bermandikan keringat
setiap hari. Membanting tulang untuk menghidupi keluarga. Apalagi di musim
kemarau seperti sekarang ini, mereka bertahan melawan teriknya matahari, rasa
gerah yang tak tertahankan, dan kaki yang kering dan pecah-pecah karena tak
beralas. Tak jarang Biyah menitikkan air matanya bila melihat dua malaikatnya
itu tersiksa. Itulah mengapa Biyah tak tega untuk keluar bersenang-senang,
sementara kedua orang yang dikasihinya menahan sakit dan perih untuk menjalani
kehidupan.
Biyah harus lebih giat membantu orang tuanya,
apalagi di musim seperti ini. Ia hanya bisa membantu ketika ia pulang dari
sekolah, biasanya hari jumat sampai minggu. Mengapa hanya tiga hari ? Karena
Biyah sudah berada di bangku kuliah. Ia baru memasuki semester pertama tahun
ini. Biyah sekolah di STKIP PGRI Pacitan dan mengambil program studi PBI. Biyah
ikut ngekos temannya di rumah bibinya. Dia biasanya pulang seminggu sekali atau
dua minggu sekali. Ia adalah gadis yang ramah pada semua orang. Biyah termasuk
anak yang termuda di kelasnya, umurnya baru 18 tahun. Kalau dalam girlband kpop
disebut sebagai Maknae (member termuda).
#...#
Pukul 03.20 dini hari, ibu
membangunkan Biyah. Mereka harus segera bersiap-siap untuk pergi mengambil air.
Begitulah kondisi pada musim kemarau. Sumber air mulai lelah untuk mengeluarkan
airnya, ia sudah tak mampu menahan teriknya sang surya. Air hanya mampu keluar
perlahan dari tempat persembunyiannya.Masalah pada musim kemarau, tentu saja
kurangnya air bersih.
Biyah dan ibunya segera bersiap-siap
untuk berangkat. Ibunya tak tega membangunkan ayah karena ia terihat begitu
kelelahan. Jadi ibu hanya mengajak Biyah untuk mengambil air. Sebuah jiligen
besar dan ember dibawa oleh Biyah. Ibunya yang membawa senter kecil sebagai
sumber cahaya. Rembulan sepertinya sedang tidak bersahabat pagi itu, ia hanya
memancarkan cahaya remang-remang yang menembus dedaunan. Perjalanan dari rumah
menuju sumber air yang berjarak sekitar 1 km ditempuh dengan berjalan kaki.
Mereka harus menapaki jalanan menanjak ditemani cahaya dari senter dan
remangnya cahaya bulan.
Sekitar 15 menit berlalu, Biyah dan
ibunya sampai di sumber air. Harapan untuk mendapatkan air pagi itu sirna.
Mereka harus menunggu air itu sampai memenuhi cekungan yang telah dibuat.
Kurang lebih satu jam berlalu, jiligen dan ember yang dibawa Biyah sudah terisi
dengan air. Biyah dan ibunya segera mandi dan tak lupa mengambil wudhu. Ibu
membawa jiligen yang berisi 30 liter air tersebut, sedangkan Biyah yang membawa
embernya. Biyah sebenarnya tak tega melihat ibunya harus membawa beban seberat
itu, tapi mau bagaimana lagi, Biyah belum kuat untuk membawa 30 liter air.
Sesampainya di rumah, Biyah segera melaksanakan sholat subuh berjamaah dan
kemudian bertilawah. 10 menit berlalu, Biyah segera membantu ibu di dapur.
Mereka harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan rumah dan kemudian pergi
mencari rumput. Tidak usah ditanya, Biyah sudah pasti ikut membantu orang
tuanya mencari rumput. Ia memang berbeda dengan anak-anak lain yang
menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, Biyah lebih suka ikut orang tuanya
mencari rumput. Rasa panas, sakit dan perih terkena duri sudah menjadi hal yang
biasa bagi Biyah.
Orang tua Biyah memelihara beberapa
ekor kambing. Tidak ada pilihan lain selain beternak. Perawakan ayahnya yang
kecil dan kurang tinggi tidak memungkinkan untuk pergi merantau seperti orang
lain. Terkadang Biyah sangat kasihan pada ayahnya, membawa beban berat dengan
kondisi fisiknya yang kurang memungkinkan. Di desanya memang banyak orang yang
memelihara kambing maupun sapi. Pekerjaan di desa yang sangat cocok hanyalah
bertani ataupun beternak.
#...#
Ketika sang surya mulai meninggi,
hampir di atas kepala, Biyah dan orang tuanya pulang dari mencari rumput.
Sampai di rumah ia istirahat sebentar dan kemudian pergi dengan membawa dua
ember yang besar.
" mau ke mana, nduk?"tanya
ibu Biyah
" mau ke kali, bu. Di rumah
airnya sedikit, jadi Biyah ke kali saja," sahut Biyah.
" yo wis, hati-hati,"
pesan ibu pada Biyah
" iya bu, assalamualaikum"
" waalaikumsalam"
Sesampainya di sumber air (warga
biasa menyebut kali), Biyah dihadapkan dengan pemandangan yang khas, tentu saja
sudah banyak orang yang mengantri untuk mengambil air. Biyah hanya bisa mrengut
dan menghela napas berat. Ia kemudian melipir pergi ke sebuah gubuk kecil
(ranggon) untuk mengatur napasnya yang naik turun. Dalam hati Biyah menggerutu,
"ihh...lama banget sih orang-orang ngambil air. Nggak tau apa kalo lagi
panas gini...huh". Cepat-cepat Biyah mengucap istighfar atas apa yang ia
ucapkan barusan.
Sekitar 50 menit berlalu, baru Biyah
bisa masuk ke sumber air dan mengambil air, walaupun masih ada sedikit rasa
kesal dalam hatinya. Setelah selesai dengan urusannya, Biyah segera pulang. Ia
segera menunaikan sholat dzuhur, baru setelah itu ia makan. Satu hal unik pada
diri Biyah, ia adalah penggemar pedas. Ia bisa menghabiskan satu lemper sambal
sekali makan, itu pun kalau tidak ketahuan ayahnya. Ya, ayahnya melarang keras
Biyah untuk mengonsumsi terlalu banyak sambal. Biyah tahu kalau banyak konsumsi
sambal bisa berbahaya bagi pencernaannya, tapi terkadang ia nekad.
#...#
Setumpuk buku sudah menumpuk di
hadapan Biyah. Tentu saja tugas kuliah yang harus segera diselesaikan. Mereka
menunggu untuk dikerjakan. Biyah harus bisa membagi waktunya ketika di rumah,
antara membantu orang tua dan tugas-tugasnya. Kalau di kos mah bebas, Biyah
bisa ngerjain tugas tanpa ada gangguan. Tapi di rumah, itu tidak bisa
dilakukan. Biyah sadar bahwa orang tuanya membanting tulang setiap hari tidak
lain juga untuk biaya kuliahnya.
Semangat untuk mengerjakan tugasnya
yang menumpuk sudah di puncak kepala. Memikirkan tugasnya yang belum kelar
sudah membuat mumet kepala Biyah, belum lagi jika ditambah tugas kimia dan
fisika dari adiknya. Biyah sepertinya butuh angin segar untuk menjernihkan
kepalanya. Tapi itu tidak mungkin, ia harus banyak-banyak bersabar. Biyah
segera saja mengerjakan tugasnya agar cepat selesai. Setelah itu baru beralih
ke kimia dan fisika. Benar-benar melelahkan jiwa raga.
Tak butuh waktu lama untuk
mengerjakan tugasnya. Ia hanya butuh waktu 35 menit untuk menyelesaikan dua
tugas, ya baru dua yang dikerjakan. Karena kalau semua tugas dikerjakan
bisa-bisa sampai maghrib baru kelar. Lepas dari itu, Biyah segera bangkit dan
mengambil jiligen lalu pergi ke kali. Ia bertugas mengisi jiligen, sedangkan
nanti ibunya yang mengambil. Biyah segera berangkat, menapaki jalan berbukit
untuk menuju ke kali. Beruntung saat itu Biyah bareng dengan budenya, dan
akhirnya mereka berangkat bersama ke kali. Harapan Biyah saat itu adalah agar
ia mendapat air untuk dibawa pulang. Namun harapan itu pudar setelah ia sampai
di kali. Lagi-lagi ia dibuat kesal dan kecewa. Airnya habis sementara banyak
orang yang masih mengantri. Mungkin jika dibandingkan, air dengan warga yang
mengatri 1 : 1000. Suasana seperti itulah yang akhirnya banyak dimanfaatkan
warga untuk mengobrol, berbagi cerita, dan melepas lelah sambil guyonan. Biyah
pun ikut ngerumpi bareng emak-emak. Kalau perempuan ngobrol sama perempuan
ujung-ujungnya pasti nggosip, pada ngomongin berita yang lagi anget-angetnya.
Di saat lagi enak-enaknya nggosip, tiba-tiba Arum teriak,
" woy,...siapa nih yang naruh
tanah di air gue?" Sambil menunjuk air di ember yang kecoklatan.
" ya nggak tau lah, emang nggak
ada kerjaan lain apa selain masukin tanah ke air? Nggak ada gunanya juga
kali."sahut Riski
Semua mata pun tertuju ke arah
mereka. Tiba-tiba Arum menoleh ke arah emak-emak,
" jangan-jangan salah satu dari
kalian ya yang masukin tanah ke emberku?" Sindir Arum
" enak wae kamu nuduh kita,
kaya nggak ada kerjaan aja,"bantah salah satu teman Biyah.
" halah...nggak usah ngeles
deh. Kalian pasti iri kan karena belum dapat air. Dasar munafik,"ejek
Arum.
Biyah yang tak tahan dengan tuduhan
Arum pun segera angkat bicara.
" eh...Arum. jaga bicaramu.
Kamu tuh datang langsung marah-marah, main nuduh orang tanpa bukti, itu namanya
suuzon".
" hhh..dasar. Biyah, nggak usah
sok alim deh lo, gitu aja langsung tersinggung. Ohhh...atau jangan-jangan kamu
yang masukin tanah ke airku?iya?"bentak Arum
Biyah pun semakin panas.
" eh...Arum, jaga bicaramu ya.
Aku nggak mungkin ngelakuin hal kaya gitu. Lagian nggak ada juga untungnya buat
aku. Kamu tuh nggak usah main nuduh tanpa bukti,"tegas Biyah
Ketegangan semakin memuncak, Arum
dan Biyah akhirnya bertengkar. Biyah yang biasanya alim dan lembut kini berubah
menjadi singa. Pertempuran tak dapat terelakkan, mereka saling menjambak dan
dibarengi dengan adu mulut.
Melihat kejadian itu, warga berusaha
untuk memisahkan pertempuran sengit mereka. Namun sepertinya mereka tidak mau
dipisahkan. Mereka terus saja adu mulut. Wajah mereka sudah memerah, baju
acak-acakan , apalagi rambut koyo wong edan. Warga bingung harus bagaimana.
Akhirnya Bang Azis mencari pak RT untuk memisahkan pertarungan sengit tersebut.
#...#
Pak RT sedang membersihkan selokan
di rumahnya. Musim kemarau adalah saat yang tepat untuk bersih-bersih, apalagi
selokan. Berbekal cangkul dan cikrak, pak RT sibuk bersih-bersih sejak pagi
tadi. Sambil mendengarkan lagu tayub, pak RT bersih-bersih sambil ikut
bernyanyi ria. Di saat sedang asyik-asyiknya bernyanyi, tiba-tiba Bang Azis
datang sambil teriak-teriak,
"Pak RT, pak...,"teriak
Bang Azis sambil ngos-ngosan.
"Ada apa, Zis. Kamu ngagetin
saja,"sambung pak RT
"Anu pak...."
"Apa, coba bicara yang
jelas,"kata pak RT
"Itu, di kali. Biyah sama Arum
bertengkar, pak"
"Hah...kok bisa?"tanya pak
RT
"Iya pak, gara-gara air."
"Astaghfirullah...ayo kita ke
sana,"ajak pak RT
"Mari pak"
Pak RT dan Bang Azis segera menuju
ke kali. Mereka khawatir kalau sampai ada yang terluka. Akhirnya mereka pun
setengah berlari agar cepat sampai.
#...#
Adu mulut di antara Biyah dan Arum
pun semakin tak terkendali. Kata-kata pedas dari mulut Arum pun kini terdengar.
Biyah semakin tidak tahan mendengarnya. Lama-kelamaan, energi mereka rupanya
sudah mulai berkurang. Dan pada saat itulah, Arum yang lebih tinggi dan kuat
dari Biyah pun menjegal kaki Biyah. Biyah terjatuh, dan tak sengaja tangannya
terkilir. Biyah merintih kesakitan,
"Aduh....sakit,"rintih
Biyah
Mungkin karena rasa sakitnya begitu
terasa, embun dari kedua kelopak bening itu akhirnya menetes.
"Halah....gitu aja nangis dasar cengeng,"ejek Arum
Warga segera membantu Biyah dan
berusaha untuk menyelesaikan pertengkaran itu.
"Heh...Arum. Kamu tuh apa-apaan
sih? Ini tangan Biyah terkilir, kamu tuh tega banget sih,"sahut Arin.
"Hhh...biarin aja. Toh yang
terkilir bukan aku. Biar tau rasa. Makanya jangan berani-berani lawan
gue,"ejek Arum
Arin tak mau meladeni Arum, ia
segera membantu Biyah. Arin tak tega melihat sahabatnya itu terluka. Warga yang
menyaksikan kejadian itu hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar perkataan
Arum yang setega itu. Tak lama kemudian, pak RT dan Bang Azis datang.
"Astaghfirullah...kalian ini
apa-apaan sih?masa udah gede masih aja ribut,"tegur pak RT.
Arum pun dengan ketus menjawab,
"Itu tuh, pak. Biyah masukin
tanah ke airku, kan kotor."
"Nggak, pak. Biyah ndak masukin
tanah ke airnya Arum. Biyah ndak tahu apa-apa masa dituduh gitu aja," bela
Biyah tak mau kalah.
"Memangnya kamu punya bukti,
Rum?"tanya pak RT.
Arum diam seribu bahasa.
"Rum, kalau kamu ndak punya
bukti jangan asal menuduh orang, itu dosa. Tuh lihat tangan Biyah sampai
terkilir. Kalian itu sudah sama-sama besar mbok ya bersikap dewasa, jangan
seperti anak-anak gini," nasihat pak RT.
"Sudah-sudah, semua pada
bubar" lanjut pak RT.
Warga yang tadinya masih memperhatikan
akhirnya satu-persatu pulang. Walaupun ada beberapa warga yang belum mengambil
air, mereka terpaksa harus pulang dulu sampai keadaannya normal kembali.
Arum yang dari tadi tak bersuara
masih saja mematung di tempatnya. Sebenarnya ia juga tak tega melihat Biyah
jadi terluka karenanya.
Beberapa saat kemudian, hanya
tinggal Biyah, Arin, Arum, pak RT, dan Bang Azis di kali. Warga sudah pulang ke
rumahnya masing-masing. Semua masih terdiam dan hanya terdengar lirih rintihan
Biyah yang menahan nyeri di tangannya. Wajah Biyah juga terlihat pucat karena
merasakan sakit di tangannya. Melihat wajah Biyah yang semakin pucat dan karena
tidak suka dengan suasana yang kaku ini, Bang Azis pun angkat suara,
"Biyah, sebaiknya kita segera
pulang. Dan tanganmu itu harus segera diurut," kata Bang Azis yang sedari
tadi mengkhawatirkan sepupunya itu. Bang Azis dan Biyah masih bersaudara.
Arin setuju dengan Bang Azis,
"Betul Biyah, sebaiknya
tanganmu harus segera diurutkan kalau
terlambat bisa bahaya,"nasihat Arin.
Biyah yang dari tadi diam hanya bisa
mengangguk pasrah. Ia takut bagaimana kalau ayah dan ibunya tahu, mereka pasti
akan marah. Belum lagi kalau tangannya parah. Ahhh...Biyah mencemaskan hal
tersebut.
"Arum, kamu sebaiknya minta
maaf sama Biyah. Kita itu bersaudara, jadi sudah sepantasnya kita bisa saling
memaafkan,"begitu nasihat pak RT.
"Kok cuma aku? Biyah kan juga
salah," sahut Arum tak terima
"Tapi kan kamu dulu yang
mulai,"kata Arin membela Biyah
"Sydah...sudah, kalian jangan
ribut terus. Biyah, kamu juga harus minta maaf sama Arum ya," pinta pak RT
"Iya, pak," sahut Biyah
lirih.
Biyah dan Arum saling berjabat
tangan meminta maaf dan mereka berpelukan. Pak RT, Bang Azis, dan Arin senang
melihat dua orang itu sudah meminta maaf. Namun, raut wajah Arum masih seperti
tidak ikhlas saat meminta maaf. Hal tersebut diperhatikan Arin. Mata elang Arin
bisa menangkap ekspresi Arum yang tidak disadari oleh yang lain. Tidak lama
kemudian Arum pamit pulang dulu.
Dalam perjalanan pulang, Arum masih
menggerutu dan rasanya nggak ikhlas banget buat minta maaf sama Biyah. Dia juga
merasa sudah dipermalukan di depan warga. Arum pulang tergesa-gesa dengan hati
yang masih panas.
#...#
Pak RT mengajak Biyah, Arin, dan
Bang Aziz untuk segera pulang. Pak RT menyuruh Bang Azis untuk menemani Biyah
dan Arin pulang. Pak RT tidak bisa menemani mereka karena mau mampir dulu ke
rumah Pak Somad, ada urusan yang harus dibicarakan. Bang Azis pun mengiyakan,
ia tak tega melihat sepupunya itu merintih kesakitan.
Dalam perjalanan pulang tidak ada
pembicaraan sama sekali. Sesekali Arin menanyakan tangan Biyah, apa sudah
mendingan atau malah bertambah sakit. Bang Azis yang melihat kecemasan di wajah
sepupunya itu segera berbicara,
"Biyah, kamu nggak usah takut.
Nanti kalau pakde dan bude nanya nanti bakal aku jelasin yang sebenarnya
terjadi. Nanti Arin juga bantu ya"
"Ok, siap bang. Biyah kamu
tenang aja, orang tuamu gak akan marah kok. Kalau kita nggak salah nggak usah
takut," ucap Arin pada Biyah.
Biyah yang mendengar hal tersebut
merasa agak lega. Kecemasan yang tergambar di wajahnya kini sudah mulai hilang.
Sesampainya di rumah Biyah, ayah dan
ibunya langsung menginterogasi anaknya. Apalagi setelah melihat pergelangan
tangan Biyah membengkak. Biyah hanya bisa minta maaf. Lalu Bang Aziz pun menjelaskan
dengan detail apa yang sudah terjadi sampai Biyah seperti itu. Biyah merasa
kesal dan tidak terima setelah dibilang munafik, dan Biyah hanya membela diri.
Arin juga menambahkan kalau Arum itu emang orangnya suka ngeyel dan maunya
menang sendiri. Masa main nuduh aja tanpa bukti, kan bikin kesal.
Orang tua Biyah mulai paham apa yang
terjadi. Mereka mempersilakan Arin dan juga keponakannya untuk masuk terlebih
dahulu, tapi mereka menolak karena sudah sore dan harus segera pulang. Orang
tua Biyah mengucapkan terimakasih pada Bang Azis dan Arin karena telah
mengantar Biyah. Setelah Bang Azis dan Arin pulang, Biyah segera masuk ke dalam
rumah.
Malam harinya Biyah akan dibawa ke
tukang urut untuk memijat tangannya. Tukang urut yang biasa memijit orang yang
terkilir adalah Mbah Pon, rumahnya berada di desa sebelah. Setelah 15 menit
perjalanan, Biyah dan kedua orang tuanya sampai di rumah Mbah Pon. Di sana,
tangan Biyah segera diurut. Biyah terlihat cengar-cengir karena menahan sakit
akibat diurut. Sekitar 10 menit berlalu, Biyah selesai diurut. Kemudian
tangannya dibalut dengan kain. Setelah selesai, Biyah dan orang tuanya segera
pulang, tak lupa ibu memberikan tanda ucapan terima kasih pada Mbah Pon.
#...#
Sudah tiga hari Biyah berada di
rumah. Ia belum diizinkan sekolah sebelum tangannya benar-benar pulih. Ia
benar-benar bosan di rumah. Ia bingung harus melakukan apa untuk mengusir
kebosanannya. Biyah kemudian menghubungi Arin agar menemaninya di rumah. Arin
segera datang ke rumah Biyah untuk menemani sahabat tercintanya itu. Tidak
butuh waktu lama bagi Arin untuk sampai di rumah Biyah, karena jarak rumah
mereka yang lumayan dekat.
"Rin, kita mau ngapain nih? Aku
bosan di rumah terus," tanya Biyah
"Gimana kalau kita nonton
drakor aja, kan seru," saran Arin
"Hhmm...oke tuh. Let's go"
ajak Biyah
Memang dasarnya anak perempuan,
kalau nonton drakor suka lupa waktu dan tentu saja nggak bisa ngalihin
pandangannya. Kali ini mereka nonton DOTS yang ada Song Jong Ki dan Song Hye
Kyo nya, serasi banget. Dari pagi sampai sore mereka masih berada di depan
laptop, melototin drakornya. Sekitar pukul 4 sore, Arin pamit karena takut
dicariin ibunya. Dia juga harus membantu ibunya. Masa anak gadis pergi
seharian. Setelah Arin pulang, tak lama terdengar suara ketukan pintu,
Tok..tok..tok,
"assalamualaikum"
"Waalaikumsalam" jawab
Biyah
Biyah membuka pintu dan alangkah
terkejutnya Biyah melihat siapa yang datang, Arum. Biyah mempersilakan Arum
masuk.
"Arum...ayo masuk, Rum,"
"Iya, Biyah. Biyah, aku ke sini
mau minta maaf sama kamu karena kemarin udah nuduh kamu, terus tanganmu jadi
terluka. Apa tanganmu sudah sembuh?"tanya Arum
"Iya, Rum. Nggak apa-apa kok.
Tanganku sudah mendingan. Aku juga minta maaf sama kamu ya," sahut Biyah
"Iya, kamu nggak salah kok.
Juatru aku yang sudah nuduh kamu sembarangan, aku nggak bersikap dewasa. Aku
janji nggak akan bersikap kaya gitu lagi."
"Iya, sama-sama," balas
Biyah
Mereka pun saling berpelukan.
Setelah itu mereka ngobrol panjang lebar. Arum kemudian langsung cerita, bahwa
yang menaruh tanah di airnya adalah anak-anak kecil yang sedang bermain.
Mendengar itu, Biyah pun tertawa. Ternyata gara-gara anak kecil mereka jadi
bertengkar.
Sekitar pukul 5 sore, Arum pamit
pulang. Ia takut dicari orang tuanya, karrna tadi dia cuma bilang mau pergi
sebentar. Biyah mengantar Arum sampai depan rumah dan mereka saling melambaikan
tangan.
#...#
2 hari kemudian, tangan Biyah sudah
mendingan dan sudah bisa beraktivitas seperti biasanya. Biyah sudah bisa
mengambil air ke kali. Dan terkadang Biyah bertemu dengan Arum. Arum sering
membantu Biyah untuk mengambil air. Warga yang melihat Biyah dan Arum sudah
berbaikan juga merasa senang.
Keesokan harinya, Biyah bersiap-siap
mengemasi barang-barangnya karena besok ia harus balik ke kos. Adik Biyah juga
membantu kakaknya mengemasi barang. Lalu adiknya bertanya,
"Kak, besok kan kakak sudah
balik ke kos. Nah, gimana kalau nanti sore kita jalan-jalan, biar otak kakak
seger lagi, nggak serius aja," gurau adiknya
"Hhh...memangnya kakak stress.
Hmm....tapi boleh juga kalo jalan-jalan. Tapi kita mau kemana?"tanya Biyah
pada adiknya
"Mmm...gimana kalau kita ke
pantai, bisa lihat sunset nanti"
"Ok..boleh juga. Kakak juga
udah lama gak ke pantai. Nanti kamu yang bonceng kakak ya"
"Ok, siap komandan," sahut
adiknya
Biyah dan adiknya melanjutkan beres-beres. Sore harinya
mereka pergi ke pantai setelah minta izin sama bapak dan ibu. Sesampainya di
pantai, Biyah langsung ngibrit lari ke arah pasir, adiknya mengikuti dari
belakang. Sudah lama sekali Biyah tidak menginjakkan kakinya di pantai.
Merasakan angin lembut yang menerpa wajah secara perlahan dapat melupakan
sejenak masalah-masalah yang sudah terjadi. Deburan ombak yang mengenai kakinya
serasa mengajak Biyah bermain sejenak. Biyah menghirup udara pantai
dalam-dalam, lalu merasakannya masuk ke sel-sel di tubuhnya. Menyegarkan
otaknya yang tegang agar kembali tenang setelah melewati hari-hari yang panjang
dan melelahkan. Melupakan sejenak akan tugas-tugas yang masih menumpuk.
Menyaksikan sang raja siang yang
mulai menyembunyikan dirinya terasa menyenangkan dan menenteramkan jiwa. Sudah
lama sekali gadis itu tidak merasakan hawa pantai atau untuk pergi keluar
sebentar. Gadis yang selalu disibukkan dengan aktivitaa-aktivitas di kampus,
membantu orang tuanya, dan selalu berkutat dengan tugas-tugasnya, akhirnya biaa
merasakan kebebasan. Rasanya seperti baru melihat dunia luar.
Begitulah Biyah, gadis mungil
bermata bening yang terkadang harus membebaskan jiwanya agar tidak terkungkung
dengan segala aktivitas dan tugas-tugas yang ada. Kini gadis itu sedang duduk
di atas pasir dan menikmati langit yang berubah warnanya menjadi jingga,
menenteramkan setiap jiwa yang menyaksikan keindahan ciptaan-Nya.
Komentar
Posting Komentar