Gulungan Rindu Seperti Gelombang Ombak di Watu Bale


 
Oleh. Titik Wulandari

Jika gulungan kertas bisa ku tinggalkan di dalam botol kaca itu, tidak sama halnya dengan kenangan ini. Entah bagaimana rongga hatiku selalu berhasil memeluk rindu-rindu sendirian tentangnya. Bahkan aku tak tahu, esok atau nanti apakah dia akan sungguh dating menepati janji, atau tidak, yang ku tahu, aku akan menyaksikan diriku menemui bayangannya bersama air mata di tengah malam yang gulita. 

Hari ini, biar aku datang ke tempat lahirnya kisah pertama tentangku dan dia. Dia adalah Marino, seseorang yang pernah menyempatkan waktunya untuk singgah bersamaku dan menyisipkan kisah dalam hidupku meski sesaat. Perawakan yang tinggi, putih, dan selalu tampil fashionable itu memikat mataku sejak pertama aku melihatnya. Marino bukanlah asli orang kampungku, dia berasal dari Jakarta. Sebulan yang lalu, sejak hari libur bermula, dia datang bersama keluarganya untuk menyambangi Nenek Arum yang hidup di kampungku. Nenek Arum adalah ibu dari Mama Marino yang sudah tiga tahun terakhir tidak bertemu dengan keluarga Marino.  

Kedatangan Marino hari itu bersamaan dengan aku yang bertamu ke rumah Nenek Arum untuk mengirimkan rengginang buatan ibuku. Saat itu, sebuah mobil sedan menggerung di halaman rumah Nenek Arum  saat aku sedang keluar dari rumahnya.
"Yeah, ini nenek tercintaku," seorang laki-laki muda menghampiri Nenek Arum lalu menciuminya. Perkiraanku, usia laki-laki ini kurang lebih sama denganku.
"Hei, sudah-sudah," Nenek berusaha melepas pelukan cucunya itu.
"Nanny apa kabar," laki-laki itu memanggil Nenek Arum dengan sebutan -nanny.
"Alhamdulillah, sehat sayang. Nino apa kabar? Sehat kan?"
"Sehat dong, Nanny."
"Ibu sehat?" Sekarang berganti seorang ibu yang kemungkinan adalah anak dari Nenek Arum.
"Sehat nduk, suamimu di mana?"
"Mas Herdi masih di belakang Bu, nurunin barang-barang."
"Oh, iya. Nduk, perkenalkan ini Ratih, anaknya Dewi," nenek menatapku dan putrinya bergantian. Aku segera mengulurkan tangan dan menjabat tangan ibu itu.
"Ratih, Bu," ucapku sambil tersenyum padanya.
"Widi," jawabnya singkat. Beliau anggun dengan setelan biru laut dan kacamata yang menempel di kepalanya.
"Nah, ini Marino, cucu nenek."
"Panggil Nino aja," dia menyambut uluran tanganku tanpa senyum sama sekali. Aku hanya mengangguk.
"Ya sudah, masuk dulu yuk," ajak nenek kepada putri dan cucunya itu. Mereka segera masuk melalui pintu depan. Aku pun melangkah meninggalkan banyak pertanyaan dalam benakku tentang Bu Widi, dan juga Nino. Nino itu, tampan.
"Hahhh.. apakah hatiku baru saja memujanya?" Aku bertanya sendirian.
"Dia itu orang kota Ratih, pantas kalau penampilannya selalu modis," pikirku lagi.

Sejak pertemuan tak sengaja di rumah Nenek itu, aku dan Nino menjadi sering bertemu. Orang tuanya sudah lebih dulu pulang ke kota. Sedangkan dia masih betah lama bermanja-manja dengan nenek. Aku tahu, secuek apapun dia padaku, tapi dia terlihat sangat menyayangi Nanny nya. Hari ini, nenek memintaku untuk mengantarkan Nino ke tepi pantai. Kata nenek, Nino sedang banyak pikiran. Barangkali jika bermain ke pantai bisa membuat kekacauan pikirannya lebih membaik. Aku hanya mengiyakan, lagi pula memang aku juga memiliki banyak pertanyaan tentangnya.
Aku mengiringi langkah Nino yang panjang. Dia melangkah hati-hati menuruni jalanan untuk sampai ke tepi pantai. Rumah nenek dengan pantai memang dekat, dan Nino sendiri lebih suka berjalan kaki daripada harus menggunakan motor. Nino tak banyak bicara, bahkan aku tidak menyangka bahwa dia akan membawaku kepada percakapan panjang yang tak akan terlupa.

"Kata nenek, kamu sedang banyak pikiran ya Nin?" Tanyaku akhirnya setelah hampir setengah jam saling diam tanpa sapa.                    

"Sedikit," dia masih dengan nada cueknya, "cuma kepikiran soal Nanny."
Ini memang pertama kalinya Nino mau mengatakan apa yang dia rasakan. Seiring berjalannya waktu, Nino mulai berani membuka dirinya kepadaku. Walaupun mungkin tidak sedekat ketika dengan teman-temanya.

"Duduk sana yuk," aku menarik tangan Nino, " di sini aja, di sana panas."
Nino beku, dia diam tanpa suara, hanya matanya yang berusaha mencerna maksudku. Aku cepat-cepat melepaskan gandenganku di tangannya. Dia menyembulkan senyum yang sejak pertama tidak pernah ku lihat. Tak lama lagi, dia terkekeh pelan.

"Kenapa di lepas?" Tanyanya padaku menahan senyumnya.

"Maaf, No. Aku bukan bermaksud begitu," aku malu, wajahku terasa sangat panas, aku menunduk.

"Iya. Gak apa-apa Ra," dia menggandeng jemariku lalu mengikuti langkahku untuk duduk di gazebo, "Kamu itu, lugu  ya Ra, aku suka," katanya.

"Suuu..suka?" Aku bergeming menatap jauh buih di lautan. Sesegera mungkin aku membenarkan pikiranku yang berlarian kesana kemari.

"Adanya kamu, mungkin bisa membuatku tenang jika harus meninggalkan Nanny di sini."

Aku terdiam, "jadi, itu yang jadi beban pikiran kamu?"

"Hmh..." Nino mengangguk kecil, "aku sayang Nanny seperti aku sayang Mama."

"Jangan terlalu dipikirkan, No. Jauh atau dekatnya kamu tidak akan memisahkan ikatan batin kalian. Lagi pula, aku bisa nengunjungi Nanny."

"Makasih ya, Ra. Aku gak tahu lagi harus gimana kalau gak ada kamu yang menyayangi Nanny seperti nenek kamu sendiri."

"Nanny kamu itu sudah seperti nenekku sendiri, No. Kalau kamu rindu Nanny, kamu bisa menelepon. Aku akan sampaikan ke nenek."

"Rindu tidak akan bisa disampaikan hanya dengan berbicara di telepon Ra. Aku cuma kepingin merawat Nanny yang sudah renta. Kalau aku pindah sekolah, aku pasti sulit beradaptasi," Nino bercerita, bagaimana sulitnya dia ketika harus menerima suasana baru dan orang-orang baru dalam hidupnya. Dia pemilih, makanya susah mendapat teman. Dan lagi, karakternya yang dingin kepada orang baru, membuat teman-temannya pun menjauh dan seolah tak mau tau.

Tak banyak yang tahu tentang Nino, aku orang yang beruntung mendapat sisipan kisah hidupnya. Sebentar lagi habis waktu liburannya di kampong ini. Begitupun juga denganku. Aku akan segera sibuk dengan banyak kegiatan yang begitu menyita waktu, bahkan mungkin tak bisa sesering ini mengunjungi nenek. Aku menghembuskan napas berat dan dalam. Pandanganku teralih pada kedua bola mata yang diam-diam memperhatikanku.

“Tapi, No. Kayanya aku gak bisa sering-sering jagain nenek kamu,” ucapku serius padanya. Mata Nino masih setia menatapku dalam. Dari raut wajahnya, aku tahu bahwa Nino memiliki banyak pertanyaan yang akan segera dia lontarkan. Aku memejamkan mataku perlahan, melepas napas yang ku tahan sejak menunggu reaksinya.

“Kamu mau kemana?” Tanya Nino akhirnya.

Semester ini aku harus pindah dari sekolahku. Ibu menyuruhku untuk segera pindah, sebab pekerjaan Ayah memaksa kami untuk ikut bersamanya,” aku berusaha menyelami tatapannya, aku ingin tahu apa isi hatinya.

“Jadi?”

“Selama aku masih di sini, aku janji akan menjaga nenek seperti biasanya. Tapi setelah itu, maaf No.”

“Bukan itu,” Nino menyentuh punggung tanganku, ada nada berat dari suara yang dikeluarkannya. Aku tahu, Nino berusaha menahan sesuatu, “kamu, pindah ke kota lain?” Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaannya. Nino, seandainya saja dia mengerti apa yang sesungguhnya ingin ku sampaikan. Ada hasrat untuk tetap di sini, bersama dengannya tanpa kehilangan apapun. Aku ingin menghentikan waktu, di mana segala yang terjadi antara Nino dan aku mulai berbeda. Kecuekan dan sikap masa bodohnya kepadaku berbanding terbalik dengan sekarang. Mataku memerah, panas, berair, pandanganku mengabur, seketika tertutup bulir air yang hendak meluncur dari tempat persembunyiannya. Aku segera mengalihkan pandanganku, membalik badanku.

“Jadi, kamu mau pindah ke mana Ra?” Nino tak bergeser sedikitpun.
           
“Gak jauh sih, tapi aku memang gak bisa sering-sering kembali ke sini,” aku masih dengan posisiku membelakanginya.

“Ra. Aku boleh ngomong?” Nino menjeda bicaranya, menunggu respon dariku, “Aku udah suka sama kamu sejak melihat kamu pertama kali di rumah nenek.” Aku terkesiap tapi tetap tak bersuara, aku menunggu kelanjutan ceritanya. Sedangkan Nino memilih untuk mendekat, dia berjalan dan berhenti di hadapanku.

“Kok diam?” tanyanya.

“Iya, Nino. Aku dengar. Hanya saja aku belum bisa mengerti dengan maksud kamu.”

“Kamu tahu, kenapa aku memintamu untuk memanggilku dengan sebutan Nino?” lagi-lagi dia menatapku lebih dalam, “hanya orang-orang terdekatku yang boleh memanggilku Nino. Mama, Papa, Nanny, dan Kamu.”  Aku tersenyum, hatiku bergetar begitu saja mendengar kata-kata yang Nino ucapkan. Dia selalu bisa membuatku bergetar, meski hanya dengan  sekedar tatapannya yang tajam.

“Tapi, No,” aku kembali mengalihkan pandangan, aku tidak tahu harus bagaimana untuk mengatakan bahwa sesungguhnya aku juga ingin memilikinya, namun sesuatu yang lain memaksaku untuk berpikir dua kali. Jarak kami. Aku tidak bisa percaya begitu saja bahwa jarak ini tidak akan memisahkan apapun diantara kami kecuali raga.

“Ra, aku tahu kamu juga menyukaiku. Aku melihat bagaimana rona pipimu yang malu ketika melihatku. Aku tahu semuanya. Sebenarnya, aku ingin membalasmu, tersenyum, dan bercanda denganmu seperti ketika kamu bermain dengan teman-temanmu di rumah. Tapi aku jauh lebih malu untuk mengakuinya. Hari ini pun, aku berusaha memberanikan diri untuk mengatakannya padamu karena besok aku sudah harus kembali ke Jakarta.”

Mataku menyaksikan kejujurannya. Aku seperti tak mampu untuk mendengar lebih jauh. Dia sudah berhasil membuat air mata yang terbendung ini meleleh sejadi-jadinya. Terimakasih, untuk sedikit hal yang mampu melompatkan hatiku setinggi angkasa. “Jarak kita. Aku gak bisa percaya kalau jarak ini akan tetap menyatukan perasaan yang hanya beberapa saat ini tercipta No.”

“Aku sama sekali gak meminta kamu untuk berpacaran denganku Ra. Aku hanya ingin kamu tahu, supaya besok aku bisa pergi  tanpa beban yang terlalu.”  “Jadi apa maksudnya? Aku gak ngerti,” aku menggeleng kebingungan. Sama sekali tidak paham maksud Nino. Menyatakan perasaan suka, tapi tidak memintaku untuk bersamanya. Aneh.


“Enam bulan lagi, aku datang ke sini, menjenguk Nanny. Pikirkan saja matang-matang. Temui aku, bagaimanapun keadaanmu. Aku gak meminta kamu menjadi pacarku, aku hanya meminta kamu bersedia menjadi pendampingku ketika pendidikan sekolahku telah usai nanti. Mungkin terlalu dini untuk menyampaikannya, sedangkan diri kita masing-masing masih menempuh pendidikan. Percayalah, aku memegang janjiku, untuk kembali menemuimu di sini. Aku tunggu jawabanmu,” Nino mengakhiri ucapannya, ia tersenyum, manis sekali.
 
Aku hanya membalasnya dengan anggukan ringan. Setelahnya kami meninggalkan tempat berbagi banyak cerita ini. Di sini lah segala tentang aku dan Nino bermula. Pantai kecil Watu Bale menyimpan gulungan cerita tentang banyak rindu yang akan kembali menjadi satu.
Terimakasih, aku akan menunggu untuk sekian panjang perjalanan waktu. Dengan atau tanpa gandenganmu, aku masih akan tetap menjaga hatiku. Memeluk rindu yang berhias purnama di tepi samudera biru Pacitan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN JATUH CINTA, TAPI BANGUNLAH CINTA

PESAN TERAKHIR