Gulungan Rindu Seperti Gelombang Ombak di Watu Bale
Oleh. Titik Wulandari
Jika gulungan
kertas bisa ku tinggalkan di dalam botol kaca itu, tidak sama halnya dengan kenangan
ini. Entah bagaimana rongga hatiku selalu berhasil memeluk rindu-rindu
sendirian tentangnya. Bahkan aku tak tahu, esok atau nanti apakah dia akan
sungguh dating menepati janji, atau tidak, yang ku tahu, aku akan menyaksikan
diriku menemui bayangannya bersama air mata di tengah malam yang gulita.
Hari ini, biar aku datang ke tempat lahirnya kisah pertama tentangku dan dia. Dia adalah Marino, seseorang yang pernah menyempatkan waktunya untuk singgah bersamaku dan menyisipkan kisah dalam hidupku meski sesaat. Perawakan yang tinggi, putih, dan selalu tampil fashionable itu memikat mataku sejak pertama aku melihatnya. Marino bukanlah asli orang kampungku, dia berasal dari Jakarta. Sebulan yang lalu, sejak hari libur bermula, dia datang bersama keluarganya untuk menyambangi Nenek Arum yang hidup di kampungku. Nenek Arum adalah ibu dari Mama Marino yang sudah tiga tahun terakhir tidak bertemu dengan keluarga Marino.
Kedatangan Marino hari itu bersamaan dengan aku yang bertamu ke rumah Nenek Arum untuk mengirimkan rengginang buatan ibuku. Saat itu, sebuah mobil sedan menggerung di halaman rumah Nenek Arum saat aku sedang keluar dari rumahnya.
Hari ini, biar aku datang ke tempat lahirnya kisah pertama tentangku dan dia. Dia adalah Marino, seseorang yang pernah menyempatkan waktunya untuk singgah bersamaku dan menyisipkan kisah dalam hidupku meski sesaat. Perawakan yang tinggi, putih, dan selalu tampil fashionable itu memikat mataku sejak pertama aku melihatnya. Marino bukanlah asli orang kampungku, dia berasal dari Jakarta. Sebulan yang lalu, sejak hari libur bermula, dia datang bersama keluarganya untuk menyambangi Nenek Arum yang hidup di kampungku. Nenek Arum adalah ibu dari Mama Marino yang sudah tiga tahun terakhir tidak bertemu dengan keluarga Marino.
Kedatangan Marino hari itu bersamaan dengan aku yang bertamu ke rumah Nenek Arum untuk mengirimkan rengginang buatan ibuku. Saat itu, sebuah mobil sedan menggerung di halaman rumah Nenek Arum saat aku sedang keluar dari rumahnya.
"Yeah,
ini nenek tercintaku," seorang laki-laki muda menghampiri Nenek Arum lalu
menciuminya. Perkiraanku, usia laki-laki ini kurang lebih sama denganku.
"Hei,
sudah-sudah," Nenek berusaha melepas pelukan cucunya itu.
"Nanny
apa kabar," laki-laki itu memanggil Nenek Arum dengan sebutan -nanny.
"Alhamdulillah,
sehat sayang. Nino apa kabar? Sehat kan?"
"Sehat
dong, Nanny."
"Ibu
sehat?" Sekarang berganti seorang ibu yang kemungkinan adalah anak dari
Nenek Arum.
"Sehat
nduk, suamimu di mana?"
"Mas
Herdi masih di belakang Bu, nurunin barang-barang."
"Oh,
iya. Nduk, perkenalkan ini Ratih, anaknya Dewi," nenek menatapku dan
putrinya bergantian. Aku segera mengulurkan tangan dan menjabat tangan ibu itu.
"Ratih,
Bu," ucapku sambil tersenyum padanya.
"Widi,"
jawabnya singkat. Beliau anggun dengan setelan biru laut dan kacamata yang
menempel di kepalanya.
"Nah,
ini Marino, cucu nenek."
"Panggil
Nino aja," dia menyambut uluran tanganku tanpa senyum sama sekali. Aku
hanya mengangguk.
"Ya
sudah, masuk dulu yuk," ajak nenek kepada putri dan cucunya itu. Mereka segera
masuk melalui pintu depan. Aku pun melangkah meninggalkan banyak pertanyaan
dalam benakku tentang Bu Widi, dan juga Nino. Nino itu, tampan.
"Hahhh..
apakah hatiku baru saja memujanya?" Aku bertanya sendirian.
"Dia
itu orang kota Ratih, pantas kalau penampilannya selalu modis," pikirku
lagi.
Sejak pertemuan tak sengaja di rumah Nenek itu, aku dan Nino menjadi sering bertemu. Orang tuanya sudah lebih dulu pulang ke kota. Sedangkan dia masih betah lama bermanja-manja dengan nenek. Aku tahu, secuek apapun dia padaku, tapi dia terlihat sangat menyayangi Nanny nya. Hari ini, nenek memintaku untuk mengantarkan Nino ke tepi pantai. Kata nenek, Nino sedang banyak pikiran. Barangkali jika bermain ke pantai bisa membuat kekacauan pikirannya lebih membaik. Aku hanya mengiyakan, lagi pula memang aku juga memiliki banyak pertanyaan tentangnya.
Aku
mengiringi langkah Nino yang panjang. Dia melangkah hati-hati menuruni jalanan untuk
sampai ke tepi pantai. Rumah nenek dengan pantai memang dekat, dan Nino sendiri
lebih suka berjalan kaki daripada harus menggunakan motor. Nino tak banyak
bicara, bahkan aku tidak menyangka bahwa dia akan membawaku kepada percakapan
panjang yang tak akan terlupa.
"Kata nenek, kamu sedang banyak
pikiran ya Nin?" Tanyaku akhirnya setelah hampir setengah jam saling diam
tanpa sapa.
"Sedikit," dia masih dengan
nada cueknya, "cuma kepikiran soal Nanny."
Ini
memang pertama kalinya Nino mau mengatakan apa yang dia rasakan. Seiring
berjalannya waktu, Nino mulai berani membuka dirinya kepadaku. Walaupun mungkin
tidak sedekat ketika dengan teman-temanya.
"Duduk sana yuk," aku menarik
tangan Nino, " di sini aja, di sana panas."
Nino
beku, dia diam tanpa suara, hanya matanya yang berusaha mencerna maksudku. Aku
cepat-cepat melepaskan gandenganku di tangannya. Dia menyembulkan senyum yang
sejak pertama tidak pernah ku lihat. Tak lama lagi, dia terkekeh pelan.
"Kenapa di lepas?" Tanyanya
padaku menahan senyumnya.
"Maaf, No. Aku bukan bermaksud
begitu," aku malu, wajahku terasa sangat panas, aku menunduk.
"Iya. Gak apa-apa Ra," dia
menggandeng jemariku lalu mengikuti langkahku untuk duduk di gazebo, "Kamu
itu, lugu ya Ra, aku suka,"
katanya.
"Suuu..suka?" Aku bergeming
menatap jauh buih di lautan. Sesegera mungkin aku membenarkan pikiranku yang
berlarian kesana kemari.
"Adanya kamu, mungkin bisa
membuatku tenang jika harus meninggalkan Nanny di sini."
Aku
terdiam, "jadi, itu yang jadi beban pikiran kamu?"
"Hmh..." Nino mengangguk kecil,
"aku sayang Nanny seperti aku sayang Mama."
"Jangan terlalu dipikirkan, No.
Jauh atau dekatnya kamu tidak akan memisahkan ikatan batin kalian. Lagi pula,
aku bisa nengunjungi Nanny."
"Makasih ya, Ra. Aku gak tahu lagi
harus gimana kalau gak ada kamu yang menyayangi Nanny seperti nenek kamu
sendiri."
"Nanny kamu itu sudah seperti
nenekku sendiri, No. Kalau kamu rindu Nanny, kamu bisa menelepon. Aku akan
sampaikan ke nenek."
"Rindu tidak akan bisa disampaikan
hanya dengan berbicara di telepon Ra. Aku cuma kepingin merawat Nanny yang
sudah renta. Kalau aku pindah sekolah, aku pasti sulit beradaptasi," Nino
bercerita, bagaimana sulitnya dia ketika harus menerima suasana baru dan
orang-orang baru dalam hidupnya. Dia pemilih, makanya susah mendapat teman. Dan
lagi, karakternya yang dingin kepada orang baru, membuat teman-temannya pun
menjauh dan seolah tak mau tau.
Tak banyak yang tahu tentang Nino, aku
orang yang beruntung mendapat sisipan kisah hidupnya. Sebentar lagi habis waktu
liburannya di kampong ini. Begitupun juga denganku. Aku akan segera sibuk
dengan banyak kegiatan yang begitu menyita waktu, bahkan mungkin tak bisa
sesering ini mengunjungi nenek. Aku menghembuskan napas berat dan dalam.
Pandanganku teralih pada kedua bola mata yang diam-diam memperhatikanku.
Tapi, No. Kayanya aku gak bisa
sering-sering jagain nenek kamu, ucapku serius padanya. Mata Nino masih setia
menatapku dalam. Dari raut wajahnya, aku tahu bahwa Nino memiliki banyak
pertanyaan yang akan segera dia lontarkan. Aku memejamkan mataku perlahan,
melepas napas yang ku tahan sejak menunggu reaksinya.
Kamu mau kemana? Tanya Nino akhirnya.
Semester ini aku harus pindah dari
sekolahku. Ibu menyuruhku untuk segera pindah, sebab pekerjaan Ayah memaksa
kami untuk ikut bersamanya, aku berusaha menyelami tatapannya, aku ingin tahu
apa isi hatinya.
Jadi?
Selama aku masih di sini, aku janji
akan menjaga nenek seperti biasanya. Tapi setelah itu, maaf No.
Bukan itu, Nino menyentuh punggung
tanganku, ada nada berat dari suara yang dikeluarkannya. Aku tahu, Nino
berusaha menahan sesuatu, kamu, pindah ke kota lain? Aku mengangguk, mengiyakan
pertanyaannya. Nino, seandainya saja dia mengerti apa yang sesungguhnya ingin
ku sampaikan. Ada hasrat untuk tetap di sini, bersama dengannya tanpa
kehilangan apapun. Aku ingin menghentikan waktu, di mana segala yang terjadi
antara Nino dan aku mulai berbeda. Kecuekan dan sikap masa bodohnya kepadaku
berbanding terbalik dengan sekarang. Mataku memerah, panas, berair, pandanganku
mengabur, seketika tertutup bulir air yang hendak meluncur dari tempat
persembunyiannya. Aku segera mengalihkan pandanganku, membalik badanku.
“Jadi, kamu mau pindah ke mana Ra? Nino
tak bergeser sedikitpun.
Gak jauh sih, tapi aku memang gak bisa
sering-sering kembali ke sini, aku masih dengan posisiku membelakanginya.
Ra. Aku boleh ngomong? Nino menjeda
bicaranya, menunggu respon dariku, Aku udah suka sama kamu sejak melihat kamu
pertama kali di rumah nenek. Aku terkesiap tapi tetap tak bersuara, aku menunggu
kelanjutan ceritanya. Sedangkan Nino memilih untuk mendekat, dia berjalan dan
berhenti di hadapanku.
Kok diam? tanyanya.
Iya, Nino. Aku dengar. Hanya saja aku
belum bisa mengerti dengan maksud kamu.
Kamu tahu, kenapa aku memintamu untuk
memanggilku dengan sebutan Nino? lagi-lagi dia menatapku lebih dalam, hanya
orang-orang terdekatku yang boleh memanggilku Nino. Mama, Papa, Nanny, dan
Kamu. Aku
tersenyum, hatiku bergetar begitu saja mendengar kata-kata yang Nino ucapkan.
Dia selalu bisa membuatku bergetar, meski hanya dengan sekedar tatapannya yang tajam.
Tapi, No, aku kembali mengalihkan
pandangan, aku tidak tahu harus bagaimana untuk mengatakan bahwa sesungguhnya
aku juga ingin memilikinya, namun sesuatu yang lain memaksaku untuk berpikir
dua kali. Jarak kami. Aku tidak bisa percaya begitu saja bahwa jarak ini tidak
akan memisahkan apapun diantara kami kecuali raga.
Ra, aku tahu kamu juga menyukaiku. Aku
melihat bagaimana rona pipimu yang malu ketika melihatku. Aku tahu semuanya.
Sebenarnya, aku ingin membalasmu, tersenyum, dan bercanda denganmu seperti
ketika kamu bermain dengan teman-temanmu di rumah. Tapi aku jauh lebih malu
untuk mengakuinya. Hari ini pun, aku berusaha memberanikan diri untuk
mengatakannya padamu karena besok aku sudah harus kembali ke Jakarta.
Mataku menyaksikan kejujurannya. Aku
seperti tak mampu untuk mendengar lebih jauh. Dia sudah berhasil membuat air
mata yang terbendung ini meleleh sejadi-jadinya. Terimakasih, untuk sedikit hal
yang mampu melompatkan hatiku setinggi angkasa. Jarak kita. Aku gak bisa percaya kalau
jarak ini akan tetap menyatukan perasaan yang hanya beberapa saat ini tercipta
No.
Aku sama sekali gak meminta kamu untuk
berpacaran denganku Ra. Aku hanya ingin kamu tahu, supaya besok aku bisa
pergi tanpa beban yang terlalu. Jadi apa maksudnya? Aku gak ngerti,
aku menggeleng kebingungan. Sama sekali tidak paham maksud Nino. Menyatakan
perasaan suka, tapi tidak memintaku untuk bersamanya. Aneh.
Enam bulan lagi, aku datang ke sini, menjenguk Nanny. Pikirkan saja matang-matang. Temui aku, bagaimanapun keadaanmu. Aku gak meminta kamu menjadi pacarku, aku hanya meminta kamu bersedia menjadi pendampingku ketika pendidikan sekolahku telah usai nanti. Mungkin terlalu dini untuk menyampaikannya, sedangkan diri kita masing-masing masih menempuh pendidikan. Percayalah, aku memegang janjiku, untuk kembali menemuimu di sini. Aku tunggu jawabanmu, Nino mengakhiri ucapannya, ia tersenyum, manis sekali.
Aku
hanya membalasnya dengan anggukan ringan. Setelahnya kami meninggalkan tempat
berbagi banyak cerita ini. Di sini lah segala tentang aku dan Nino bermula.
Pantai kecil Watu Bale menyimpan gulungan cerita tentang banyak rindu yang akan
kembali menjadi satu.
Terimakasih,
aku akan menunggu untuk sekian panjang perjalanan waktu. Dengan atau tanpa
gandenganmu, aku masih akan tetap menjaga hatiku. Memeluk rindu yang berhias
purnama di tepi samudera biru Pacitan.
Gude
BalasHapus👍
BalasHapusTerimakasih
BalasHapus